BERITA

Posted on Selasa, 22 Juni 2010 by lia yulistino sugiono

Nilai-Nilai Berita Untuk Berita yang bernilai

1. Keluarbiasaan (unsualness)
berita adalah sesuatu yang luar biasa. Dalam pandangan jurnalistik, berita bukanlah suatu peristiwa biasa. Contoh: peristiwa pesawat terbang melayang di udara, gunung meletus yang menyebabkan puluhan ribu jiwa harus mengungsi.
2. Kebaruan (Newness)
berita adalah semua apa yang terbaru. Semua hal yang baru, apa pun namanya pasti memilki nilai berita. Contoh: pemilihan presiden baru, gubernur baru, mobil keluaran terbaru.
3. Akibat (Impact)
berita adalah segala sesuatu yang berdampak luas. Suatu peristiwa tidak jarang menimbulkan dampak besar dalam kehidupan masyarakat. Contoh: kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kenaikan tarif listrik, kenaikan beras

4. Aktual (Timeliness)
berita adalah peristiwa yang sedang atau baru saja terjadi. Secara sederhana aktual berarti menunjuk pada peristiwa yang baru atau yang sedang terjadi. Contoh: gempa bumi. Tsunami, kerusuhan.
5.Kedekatan (Proximity)
Berita adalah kedekatan. Kedekatan mengandung dua arti. Kedekatan geografis dan kedekatan psikologis.kedekatan geografis menunjuk pada pada suatu peristiwa atau berita yang terjadi di sekitar tempat tinggal kita.
kedekatan psikologis lebih banyak ditentukan oleh tingkat keterikatan pikiran, perasaan atau kejiwaan sesseorang dengan suatu objek peristiwa atau berita.
6. Informasi (information)
berita adalah informasi. Hanya informasi yang memiliki nilai berita atau banyak memberikan manfaat kepada publik yang patut mendapatkan perhatian media. Contoh: rubrik agenda, seputar kota, seputar kampus.

7. Konflik (Conflict)
berita adalah konflik atau segala sesuatu yang mengandung unsur atau sarat dengan dimensi pertentangan. Contoh: berita tentang kerusuhan,demonstrasi.
8. Ketenaran (prominence)
berita adalah tentang orang-orang penting, pesohor, public figure, selebriti. Teori menegaskan nama menciptakan berita ( name makes news)
9. Ketertarikan manusiawi (Human interest)
berita yang lebih banyak menyentuh perasaan daripada mengundang pemikiran. Contoh: kisah tentang penjaga rel kereta api

10. Seks
Berita adalah seks. Sepanjang sejarah peradaban manusia, segala hal yang berkaitan dengan seks pasti menarik dan mengundang pehatian

Pengembangan Diri dan Kepribadian

Posted on by lia yulistino sugiono

SIKAP POSITIF untuk pengembangan Diri dan Kepribadian yang baik

Optimisme yang tinggi,
Pantang menyerah,
Percaya diri,
Mudah bersyukur,
Sabar,
Menghargai orang lain,
Menghargai perbedaan,
Mudah berteman,
Mengambil tanggung jawab
Pantang menyalahkan orang lain dan keadaan.

Ketika hujan mulai mengguyur Jakarta,

Anda berdoa: "Tuhan, kalau benar Engkau mengasihiku, maka halau banjir ini masuk ke dalam rumahku."

Bagi-Ku, jangankan menghalau air masuk ke dalam rumahmu, membelah laut saja Aku mampu. Tetapi kali ini, Aku ingin menunjukkan kasih-Ku kepadamu dengan cara yang berbeda, yakni dengan membiarkan air itu masuk ke dalam rumahmu.

Tujuannya, Aku ingin kamu belajar berenang...karena Aku sudah mempersiapkan perkerjaan baru untukmu, dengan posisi dan gaji yang lebih tinggi...semuanya jauh lebih baik dari pekerjaanmu yang sekarang. Namun dalam pekerjaan itu kamu harus bisa berenang. Maka inilah cara-Ku untuk melatihmu berenang agar kamu dapat sukses dalam pekerjaan barumu nanti."

• Jangan menjadi orang yang kaku dan tertutup
• Buku pikiran
• Lihat banyak kesempatan
• Ambil keputusan pada saat emosi positif
• Tenangkan pikiran
• Sikap positif

SOSIOLOGI KOMUNIKASI ; QUIZ FOR FUN!!

Posted on Selasa, 15 Juni 2010 by lia yulistino sugiono

MENGENAL DIRI DALAM KONSEP SOSIOLOGI KOMUNIKASI

Apa Kelemahan kamu?
• Sensitive (perasaan)
• Egois (mau menang sendiri, ngomong) terkadang/ pendapat
• Understmade orang ketika jahat, males

Apa Kelebihan kamu?
• Easy going (mudah bergaul)
• Team work (suka bekerjasama)
• Sensitif

Apa sifat sahabat kamu yg paling kamu suka
• Saling care (memberi menerima)

Apa sifat sahabat kamu yg paling tdk kamu suka
• Temen yang egois
• Temen yg berlebihan

Adakah dampak secara psikologi sosial maupun komunikasi tentang pembangunan wall mart yg dekat dengan area penduduk/ pasar tradisional?
Jelaskan apa saja…?
• Persaingan harga
• Penyusutan konsumen pasar tradisional
• Eye catching
• Lebih bersih dan efisien
• Diskcount
• Tidak bisa menawar

Pihak mana saja yg diuntungkan dengan kehadiran wall mart ini?
• Masyarakat sekitar
• Pemerintah daerah

Pihak yang dirugikan dengan kehadiran wall mart ini:
• Pedagang pasar
• Masyarakat menengah kebwh
• Toko2


Apa Kelemahan kamu?
• Keras kepala
• Egois
• Males karena situasi

Apa Kelebihan kamu?
• Single fighter (tekun bekerja)
• Sensitif
• Setia
• Bertanggung jwb thdp kerja

Apa sifat sahabat kamu yg paling kamu suka
• Baik hati
• Ada suka dan duka
• Care, jujur, gk suka ngmng di blkg

Apa sifat sahabat kamu yg paling tdk kamu suka
• Temen yang egois
• Suka ngmng diblkng
• Gampang marah (emosional), mudah tersinggung

Adakah dampak secara psikologi sosial maupun komunikasi tentang pembangunan wall mart yg dekat dengan area penduduk/ pasar tradisional?
Jelaskan apa saja…?
• Persaingan harga
• Penyusutan konsumen pasar tradisional
• Eye catching
• Lebih bersih dan efisien
• Discount
• Tidak bisa menawar

Pihak mana saja yg diuntungkan dengan kehadiran wall mart ini?
• Masyarakat sekitar
• Pemerintah daerah
• remaja

Pihak yang dirugikan dengan kehadiran wall mart ini:
• Pedagang pasar
• Masyarakat menengah kebwh
• Toko2

EVASI KOMUNIKASI

Posted on by lia yulistino sugiono

HAMBATAN KOMUNIKASI

Untuk melakukan komunikasi yang benar-benar efektif, para ahli komunikasi berpendapat tidak mungkin, karena saat komunikasi berlangsung sering tanpa disadari timbul hambatan.

Berikut ini ada beberapa hambatan komunikasi yang patut diperhatikan oleh komunikator :

Hambatan Karena Gangguan ( Noises)

Ada 2 macam Gangguan menurut sifatnya :
Gangguan Mekanik/phonetik (mechanical / phonetic noise), yaitu gangguan yang disebabkan saluran komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik, seperti bunyi-bunyian yang berisik yang menggangu suara komunikator menjadi tidak jelas.

Gangguan Semantik ( Semantic Noise), yaitu gangguan yang terjadi berkaitan dengan bahasa/lambang-lambang yang memiliki makna ganda (kata-kata bersayap). Gangguan semantic dipengaruhi oleh pengertian yang konotatif (connotative meaning), yaitu pengertian yang bersifat emosional dan evaluative yang disebabkan latar belakang dan pengalaman seseorang (kalai denotative adalah pengertian sebagaimana yang ada dikamus/dipahami secara umum).

Hambatan Karena Kepentingan (Interest).
Faktor kepentingan juga akan menghambat komunikasi yang efektif, karena factor kepentingan komunikan yang membuat komunikan akan selektif dalam menerima dan menanggapi pesan. Orang akan terangsang oleh pesan yang menjadi kebutuhannya.

Hambatan Karena Motivasi (Motivation)
Faktor motivasi komunikan juga akan mempengaruhi tingkat kepedulian, perhatian dan rangsangan terhadap pesan yang disampaikan oleh komunikator.

Hambatan karena Prasangka (Prejudice)
Prasangka merupakan hambatan berat bagi proses komunikasi, kalau belum apa-apa komunikan sudah curiga baik terhadap komunikator maupun pesan yang akan disampaikan maka komunikasi tidak berjalan dengan efektif. Hal ini bisa saja karena ethos komunikator dimata komunikan sudah merosot. Dalam prsangka, emosi/perasaan memaksa menarik kesimpulan atas dasar syak wasangka tanpa didasari rasionalitas maupun fakta.

Gangguan yang bersifat mekanik dan semantic adalah hambatan yang sifatnya obyektif, yaitu hambatan yang timbulnya bukan disengaja oleh pihak lain, tetapi keadaan yang tidak menguntungkan jalannya proses komunikasi.

Sedangkan hambatan yang berkaitan dengan kepentingan, motivasi, prasangka (termasuk didalamnya tamak, iri, dengki apatisme) merupakan hambatan yang bersifat subyektif, yaitu ditimbulkan oleh salah satu pihak/komunikan.

Hambatan-hambatan lain bisa juga datang karena :
• Bahasa/Language
• Membela diri/Defensiveness
• Misreading of Body Language
• Emosi/Emotions
• Persepsi/Perception
• Perhatian/Attention
• Perbedaan Budaya/Cultural Differences
• Terlalu banyak informasi/Information Overload

Ada beberapa cara untuk mengatasi hambatan dalam komunikasi (Overcoming Communication Barriers), yaitu melalui umpan balik/feedback-nya ; Informasi yang teratur/Regulate Information; Aktif mendengarkan/Listen Actively ; Bahasa yang sederhana/Simplify Language ; Emosi/Emotions


EVASI KOMUNIKASI.
Respon/tanggapan negative komunikan terhadap komunikator maupun pesan yang disampaikan bisa berupa ‘penentangan’ berupa sikap acuh tak acuh, mencemoh bahkan mendiskriditkan pesan.

Gejala mendiskriditkan atau menyesatkan pesan oleh komunikan karena tidak suka terhadap komunikator maupun pesan yang disampaikan dinamakan “Evasion of communication “

E. Cooper dan M. Johada, mengemukakan ada beberapa jenis evasi komunikasi :
Menyesatkan Pengertian,(understanding derailed), yaitu suatu pesan di-interpretasikan sesuai dengan kondisi emosi/perasaannya. Misal, temannya mengajak agar meningkatkan kedisiplinan. Oleh yang menerima pesan di-interpretarsikan temannya itu mau ‘cari muka’.

Mencacatkan Pesan (message made invalid), yaitu pesan yang diterima di-interpretasikan dan dikembangkan tidak sebagaimana mestinya. Misal, si-A, baru ditegur oleh atasannya, si-B yang tidak suka dengan si-A, cerita kepada si-C, bahwa si-A, dimarahi atasannya, si-C yang tidak suka dengan s-A, cerita kepada si-D, kalau si-A, di skors oleh pimpinannya.

Merubah Kerangka Referensi (changing frame of reference), Seseorang dalam menerima pesan, sering dimaknai sesuai dengan kerangka referensinya sendiri, baik kerangka piker maupun kerangka pengalamannya sendiri. Misal, Seseorang yang telah mengenal dan mempunyai pengalaman tentang Wisata Bali, akan berbeda responnya bagi yang belum tahu tentang Wisata Bali, saat disampaikan pesan-pesan tentang Wisata bali.

Distrosi
Kekurang tepatan atau perbedaan arti diantara pesan yang dikirim dengan interpretasi penerimanya dinamakan ‘distorsi’. Efektifitas komunikasi tidak saja pada aspek cara berkomunikasinya, tetapi juga aspek isi pesan yang disampaikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi distrosi pada pola komunikasi personal, maka faktornya juga personal, tetapi kalau komunikasi dalam kelompok/organisasi, disamping factor personal juga dipengaruhi factor kelompok/organisasi

Distrosi yang dipengaruhi oleh factor personal, yang memegang peranan peting adalah masalah persepsi. Lewis (1987) mengatakan bahwa persepsi adalah proses pengamatan, pemilihan, pengorganisasian stimulus yang sedang diamati dan membuat interpretasi (penafsiran) mengenai pengamatannya itu.

Hal-hal yang berkenaan dengan persepsi personal yang mempengaruhi distorsi dalam proses komunikasi, tersebut adalah :

1. Orang mengamati sesuatu itu selektif.
Keterbatasan kemampuan pancaindera kita dalam merespon lingkungan yang sangat terbatas sehingga akan melakukan persepsi pilihan. Pilihan tersebut maksudnya akan memusatkan perhatian pada stimulus/rangsangan keinderaan kita, dengan mengabaikan stimulus lainnya.

Misalnya ada dorongan stimulus dari diri kita untuk melihat tv, sedang bersamaan dengan itu ada stimulus/rangsangan untuk indera kita dari luar diri kita, yaitu orang berbicara dengan kita, tentu saja keduanya sulit menjadi perhatian pada derajat yang sama oleh indera kita, sehingga akan terjadi pengabaian dari salah satunya, sehingga pesan yang sampai menjadi distorsi dalam komunikasi tersebut.

2. Orang melihat sesuatu konsisten dengan apa yang mereka percayai.
Persepsi kita mengenai sesuatu, dipengaruhi oleh keyakinan yang selama ini kita percayai tentang orang, benda atau kejadian itu. Misalnya, menurut saya orang itu dapat dipercaya, tetapi ternyata teman kerja dia mengatakan orang tersebut tidak dapat dipercaya. Atau misalnya hiasan itu bagus untuk pajangan dirumah, tetapi teman saja mengatakan tidak bagus. Kondisi ini akan mempengaruhi interpretasi pesan.

3. Bahasa itu sendiri yang kurang tepat.
Dalam komunikasi, bahasa digunakan untuk menyatakan persepsi. Menggunakan bahas yang tidak berlaku umum, akan menimbulkan distorsi. Misalnya kita bilang ‘atos’ untuk orang jawa itu berarti keras, namun bagi orang Sunda itu bersrti sudah. Sesungguhnya bahas yang tepat dapat menunjukkan orang, benda atau kejadian sebagaimana keadaan yang sesungguhnya. Mengingat banyaknya bahasa, maka digunakan pada ruang dan waktu yang tepat.

4. Arti suatu pesan terjadi pada level isi dan relasi.
Suatu pesan diinterpretasikan pada level isi dan relasi (hubungan). Pada lever/tataran isi menunjuk pad ide-gagasan, hal-hal, orang, benda atau kejadian yang dibicarakan (verbal) atau disampaikan (non verbal). Sedang pada level/tataran relasi, menunjuk pada bagaimana isi pesan dalam proses komunikasi. Misalnya seseorang menyampaikan sesuatu prestasi seseorang (level isi) dengan cara senyuman yang sinis (level relasi) akan bermakna berbeda kalau disampaikan dengan penuh senyuman kebanggan. Demikian juga (level relasi) pihak penerima pesan.

5. Tidak adanya kosistensi bahasa verbal dan non verbal.
Pace (1989), mengungkapkann bahwa percakapan diantara dua orang diperkirakan bahwa arti dari pesan dari bahasa verbal diserap 35 % dan dari bahsaa non verbal diserap 65 %. Dengan demikian bahwa sumber arti dan perasaan dari pesan yang disampaikan adalah berasal dari pesan non verbal.
Ini artinya konsistensi yan g diucapkan dengan yang diperbuat, harus dijaga agar tidak terjadi distriorsi. Sering kita dapati yang diungkapkan dengan lisan berarti ia atau setuju, tetapi bahas tubuhnyanya (non verbal) menunjukkan ketidak setujuannya.

6. Pesan yang meragukan
Keraguan pesan dalam kontek berkomunikasi mengarah pada ketiga keraguan, yaitu keraguan isi pesan, maksud pesan, dan keraguan efek pesan.

Keraguan isi pesan, berkenaan dengan ketidakpastian apa arti pesan yang sesungguhnya (pesannya kabur). Makin besar keraguan arti pesan, makin sulit untuk memahami pesan itu.

Keraguan maksud pesan, menunjuk pada ketidakjelasan maksud dari pengirim pesan. Misalnya sesorang dipanggil untuk menghadap, tetapi tidak dijelskan apa yang mau dibicarakan.

Keraguan efek pesan, berkenaan dengan ketidakpastian memprediksi atau memperkirakan konsekuensi yang mungkin dari suatu pesan. Kita mungkin menginterpretasikan dengan tepat isi pesan, tetapi tidak mampu memprediksi efek isi pesan tersebut. Misalnya, seorang yang dipanggil tersebut diatas karena ada keraguan maksud, maka ini menimbulkan distorsi, yaitu waktu diajak bicara dia tidak menyiapkan apa-apa yang patut dikemukakan.

7. Memori yang mengarah penajaman atau penyamarataan.
Memori / atau daya ingat seseorang dipengaruhi oleh sikap penajaman atau penyamarataan. Sesorang yang memiliki memori dengan pola penyamarataan, cenderung mengeneralisasi masalah dan kehilangan struktur pesan yang utuh. Berbeda dengan seseong yang memiliki memori dengan pola penajaman, ia akan memiliki struktur permasalahan yang detail dan lengkap. Sehingga pesan yang diterima tidak distrosi.

8. Motivasi bisa membangkitkan distorsi pesan.
Sikap terhadap isi, seseorang yang mempunyai sikap negative terhadap isi pesan, cenderung untuk mengabstraksikan secara negative, begitu sebaliknya. Keinginan dan motivasi dari pembicara, yang menyederhanakan pesan, menghaluskan agar pantas, untuk menyenangkan, sehingga mengaburkan isi substansi pesan akan menimbulkan distorsi. ****






• Evasi Komunikasi
Hambatan komunikasi pada umumnya mempunyai 2 sifat :
1. Hambatan Obyektif; Gangguan dan halangan terhadap jalannya komunikasi yang tidak disengaja, dibuat oleh pihak lain, tapi mungkin disebabkan oleh keadaan yang tidak menguntungkan.
Misal: Gangguan cuaca, gangguan lalu-lintas.
Hambatan Objektif juga bisa disebabkan :
• Kemampuan komunikasi yang kurang baik;
• Approach/Pendekatan penyajian kurang baik;
• Timing tidak cocok;
• Penggunaan media yang keliru.
2. Hambatan Subyektif; yang sengaja dibuat oleh orang lain. Disebabkan karena adanya :
• Pertentangan kepentingan;
• Prejudice; (Penuh Curiga)
• Tamak;
• Iri hati;
• Apatisme, apa yang dilakukan oleh orang lain sudah tidak dianggap olehnya. Ia sudah menutup jalan bagi dialog,


• “Gejala mencemooh dan mengelakan suatu komunikasi untuk mendeskreditkan atau menyesatkan pesan komunikasi”.
• Mencacatkan Pesan Komunikasi (Message made invalid); Kebiasaan mencacatkan pesan komunikasi dengan menambah-nambah pesan yang negatif.
• Mengubah Kerangka Referensi (Changing frame of reference),Kebiasaan mengubah kerangka referensi menunjukkan seseorang yang menanggapi komunikasi dengan diukur oleh kerangka referensi sendiri.

CORPORATE IMAGE

Posted on Kamis, 10 Juni 2010 by lia yulistino sugiono

Perang merek yang bikin semua orang di dunia pemasaran menahan nafas, mengerinyitkan dahi dan lalu garuk-garuk kepala, tentu saja antara dua merek raksasa yaitu Coca Cola dan Pepsi. Kedua-duanya berasal dari Amerika Serikat, negara yang sekarang lagi sibuk mengadakan pilcapres.

Semenjak dua merek tersebut ditahbiskan, masing-masing pada tahun 1886 dan 1903 antara keduanya sudah terjadi persaingan, saling sikut dan perang iklan, baik iklan cetak dan video. Mereka berambisi bisa meraih dominasi pasar minuman ringan berkarbonasi. Bisa dimaklumi kalau terkadang masalah etika sedikit terkesampingkan.
Kita ambil ilmunya saja lah. Nah, kini sambil tidak mempermasalahkan dulu masalah etika, mari kita lebih menyorot kreativitas Coca Cola dan Pepsi dalam upayanya memenangi simpati dan preferensi pelanggan.

Kata ‘citra’ biasanya menunjukkan ‘gambaran’ yang dimiliki seseorang tentang sesuatu atau seseorang, atau dalam makna khusus, ‘pendapat stereotipikal publik umum tentang
seseorang atau sesuatu’.

Gambaran visual ini mungkin didasarkan pada ciri konkrit obyek atau orang tertentu serta segala jenis aspek imaterial atau aspek tak relevan.
Kita kerap telah membentuk citra tentang sesuatu atau seseorang walau belum bersentuhan dengan obyek atau subyek tadi. Gardner dan Levy mungkin penulis pertama yang memakai istilah ‘citra’ dalam konteks pemasaran. David Ogilvy akhirnya jadi perintis yang menekankan pentingnya citra dalam iklan. Aspek penting pada citra merek adalah gambaran mental yang dimiliki konsumen terhadap produk atau merek. Citra merek didefinisikan sebagai berikut:
Citra merek adalah gambaran mental subyektif tentang merek yang sama-sama dianut sekelompok konsumen.
Tergantung sejauh mana konsumen terekspos komunikasi pemasaran dan pengalaman konsumsi mereka dengan produk itu, visualisasi citra merek biasanya cukup rinci.


Komponen citra merek
Terdapat tiga komponen citra merek: konten, favorabilitas, dan kekuatan. Komponen-komponen ini biasanya tercermin pada hasil pengukuran citra melalui uji diferensial semantik. Dalam penerapan teknik pengukuran ini, konsumen diminta memberi evaluasi terhadap skala bipolar yang berbeda (seperti ‘bermutu rendah versus bermutu tinggi’ dan ‘kuno versus modern’). Setiap skala terdiri dari lima atau tujuh posisi. Dalam memproses hasilnya, posisi di bagian kiri biasanya bernilai negatif, posisi tengah bernilai nol dan posisi terjauh di sebelah kanan ditandai positif. Pada Bagan ditampilkan skala tujuh-poin, dengan kutub ‘kuno versus modern’. Berdasarkan teknik pengukuran ini, tidak hanya konten citra merek yang ditentukan (apakah merek dirasa kuno atau modern), tapi juga favorabilitas (negatif versus positif) dan derajat kekuatan (sejauh mana asosiasi dirasa negatif atau positif).
Konten citra merek mengacu pada asosiasi yang mungkin dibangkitkan oleh sebuah merek. Sebagian merek membangkitkan banyak asosiasi, sementara lainnya sedikit saja. Asosiasi bisa saja terkait dengan kognisi (pengetahuan) dan perasaan, namun bisa juga, misalnya, terkait dengan bau dan bunyi.
Penelitian citra merek pada sejumlah merek margarin di Belanda antara lain menunjukkan bahwa ketika ditanya asosiasi merek, maka konsumen lebih banyak menyebutkan aspek-aspek dari pesan iklan. Namun, dalam citra perlu dibedakan antara manifest content dan latent content. Asosiasi yang bisa diverbalkan secara langsung oleh konsumen membentuk manifest content citra merek. Latent content citra merek mengacu pada asosiasi yang oleh konsumen tidak langsung disebutkan, tapi bisa diukur dengan teknik tertentu (misalnya, diferensial semantik pra-desain). Jika kemudian peneliti ‘membantu’ konsumen dengan menanyai pendapat mereka atas sejumlah dimensi yang tidak mereka sebut secara spontan, maka ternyata konsumen memiliki citra merek yang jelas dan mampu menggambarkan profil merek.
Pemasar bisa memilih berbagai metode untuk mengukur citra bergantung pada sedalam apa citra telah menancap di benak konsumen. Sejauh mana elaborasi citra merek juga bergantung pada pilihan positioning. Merek yang diposisikan secara fungsional diharapkan bisa membentuk asosiasi yang lebih konkret ketimbang merek yang diposisikan secara ekspresif.
Mengenai konten merek, kita bisa bedakan antara asosiasi merek material dan imaterial. Asosiasi merek material bisa dibagi menjadi asosiasi yang mengacu pada sifat aspek material tertentu (seperti keandalan dan keawetan) dan asosiasi yang mengacu pada ada atau tiadanya atribut tertentu. Kategori pertama terkait dengan karakteristik yang sama-sama dimiliki semua produk di kategori itu, tetapi sifatnya bisa berbeda untuk masing-masing merek. Sebagai contoh, semua kamera punya lensa, tapi merek Hasselblad membentuk asosiasi dengan lensa berkualitas tinggi.
Aspek lain asosiasi merek material adalah asosiasi yang menunjukkan ada atau tidak adanya atribut tertentu. Merek Citroën, misalnya, akan membangkitkan asosiasi pada sistem suspensi yang unik. Asosiasi merek imaterial mengarah pada aspek-aspek yang tak terkait dengan produk (fisik). Contoh-contohnya bisa dikaitkan dengan gaya hidup atau dunia pengalaman tertentu.
Pada dasarnya, favorabilitas citra merek bisa memiliki dua nilai: negatif atau positif. Subyeknya disini bukanlah konten aktual asosiasi itu, tapi ‘perasaan’ yang dialami konsumen pada setiap asosiasi (dan lalu khususnya arah perasaannya: negatif atau positif). Misalnya, mobil-mobil buatan Alfa-Romeo dulu diasosiasikan dengan karat (asosiasi negatif) sekaligus dengan daya akselerasi tinggi (asosiasi positif).
(‘saya mengasosiasikan Nivea pada kelembutan dan warna biru; meski asosiasi pada kelembutan lebih kuat’). Istilah umum untuk favorabilitas dan kekuatan adalah reputasi. Reputasi sebuah merek dikaitkan dengan sejauh mana merek bisa menimbulkan asosiasi positif dan kuat. Kata ‘reputasi’ sering dipakai guna menunjukkan kesan global sebuah merek. Merek dengan reputasi sangat positif umumnya adalah merek-merek yang didasarkan pada strategi prestis (lihat, misalnya, Rolls-Royce, sebuah merek dengan reputasi sangat bagus di bidang mesin mobil maupun mesin pesawat).::
Kendati perannya telah terhitung sejak lama, namun baru pada abad 20 merek dan asosiasi merek menjadi begitu penting bagi pemasar. Bisa dikatakan pemasaran modern diwarnai oleh penciptaan berbagai merek.

Pemasar saat itu mulai mengandalkan riset untuk membantu mereka merumuskan dan mengembangkan basis diferensiasi merek. Penggunaan atribut, nama, kemasan, strategi distribusi, dan iklan diyakini bisa menancapkan asosiasi merek yang unik di benak pelanggan. Sejak saat itu, terjadi pergeseran besar-besaran dari komoditas menjadi produk bermerek. Alhasil dalam membeli sebuah produk, konsumen tidak lagi sekedar berpatokan pada tinggi rendahnya harga, namun lebih melihat basis diferensiasi merek. Sejak itu pertumbuhan merek baru makin bertumbuh pesat. Ribuan merek baru dilansir tiap tahunnya.

Nah, kini kita tahu beda antara merek dan produk, namun tahukah anda bahwa perlu waktu berpuluh tahun untuk menyadari perbedaan ini secara eksplisit dalam ilmu pemasaran? Kalau kita runut ke belakang, maka pakar pertama yang menjlentrehkan perbedaan ini adalah Gardner dan Levy yang menulis artikel pada tahun 1955 dengan judul ‘The product and the brand’.

Merek punya nilai tertentu bagi perusahaan, dan nilai itu bisa saja berlipat-ganda dari nilai real estate, gedung dan mesin-mesin milik perusahaan.Mudahnya, nilai merek bagi perusahaan kita sebut ‘ekuitas merek’. Di awal tahun 1980an istilah ini makin populer di kalangan finansial Amerika. Awalnya, ekuitas merek lebih dianggap sebagai aset (finansial) yang penting bagi perusahaan sehingga ekuitas merek bisa ditafsirkan sebagai nilai finansial merek. Pertengahan 1980an, istilah ‘ekuitas merek’ juga menjadi perhatian dunia pemasaran. Di dunia pemasaran, ekuitas merek selain diakui mampu menjanjikan keuntungan finansial, sekaligus juga berarti manfaat manajemen dan stratejik. Pakar lain menggunakan istilah ‘ekuitas merek’ guna menunjukkan nilai merek di mata konsumen.

Akhir tahun 1980an, dunia pemasaran di Barat diwarnai dengan diskusi yang membahas metode ekuitas merek sebagai tema sentral. Langkah awal menuju konseptualisasi nilai merek bagi perusahaan ditulis oleh David Aaker dalam bukunya, Managing Brand Equity, terbit tahun 1991.
Makin sengitnya persaingan sejak dekade 1980an, lalu tuntutan pasar yang cepat berubah serta makin kuatnya kekuatan peritel dan juga dampak tekanan investor, membuat profiteering menjadi tujuan utama perusahaan. Investor atau pemegang saham kerap tak sabar pada reward tertunda, sehingga investasi merek jangka panjang tak begitu diprioritaskan. Pada tahun 1990an fenomena ini mendorong reorganisasi portofolio merek, merek yang tak-menguntungkan disingkirkan atau dijual. Bagi merek-merek lain, upaya jangka pendek (seperti promosi penjualan) sering menjadi solusi dari kemauan investor dan ancaman eksternal. Karena lebih bersifat jangka pendek, para manajer bergelar MBA itu kadang diolok-olok sebagai ‘Murderers of Brand Assets’. Karenanya Aaker mengusulkan adanya brand equity managers yaitu pejabat yang diberi wewenang guna mencegah nilai merek makin tergerus. Konsep brand equity managers ini menunjukkan bahwa merek sukses diakui sebagai aset penting perusahaan.

Definisi merek juga berubah dari merek sebagai product-plus menjadi merek sebagai konsep. Dulu, merek adalah pelengkap produk: pabrikan membuat produk dan lalu sebuah nama dilekatkan, yang kemudian perlu dibuat bermakna di mata konsumen (merek sebagai product-plus). Namun, kini tak sedikit kita jumpai perusahaan yang mengembangkan konsep yang mereka harapkan bisa memikat kelompok konsumen tertentu (merek sebagai konsep). Konsep ini disusun dan diterjemahkan dalam strategi komunikasi. Baru setelah itu dicari produk dan pabrikannya (maka merek lebih dilihat sebagai konsep independen, yang dapat dikaitkan dengan sejumlah produk). Pendekatan brand-as-a-concept menjadi makin penting akhir-akhir ini; contohnya The Body Shop. Menurut pandangan lama, strategi perusahaan adalah ‘product-driven,’ dan menurut paradigma baru, strategi lebih bersifat ‘market-driven.’

Inti pendekatan brand-as-a-concept adalah bahwa pemasar lebih dulu membuat konsep menarik dan kuat yang tidak terlalu berakar pada keunggulan produk tapi lebih ke lifestyle yang bisa diasosiasikan dengan merek (Nike, Swatch, dll.). Pendekatan brand-as-a-concept juga menyiratkan adanya pergeseran pemasaran dari manajemen transaksi ke manajemen relasi (relationship marketing), di mana merek menjadi link penghubung antara pemilik merek dan pengguna merek.
Kata ‘citra’ biasanya menunjukkan ‘gambaran’ yang dimiliki seseorang tentang sesuatu atau seseorang, atau dalam makna khusus, ‘pendapat stereotipikal publik umum tentang seseorang atau sesuatu’.

Gambaran visual ini mungkin didasarkan pada ciri konkrit obyek atau orang tertentu serta segala jenis aspek imaterial atau aspek tak relevan.
Kita kerap telah membentuk citra tentang sesuatu atau seseorang walau belum bersentuhan dengan obyek atau subyek tadi. Gardner dan Levy mungkin penulis pertama yang memakai istilah ‘citra’ dalam konteks pemasaran. David Ogilvy akhirnya jadi perintis yang menekankan pentingnya citra dalam iklan. Aspek penting pada citra merek adalah gambaran mental yang dimiliki konsumen terhadap produk atau merek.

Citra merek didefinisikan sebagai berikut:
Citra merek adalah gambaran mental subyektif tentang merek yang sama-sama dianut sekelompok konsumen.
Tergantung sejauh mana konsumen terekspos komunikasi pemasaran dan pengalaman konsumsi mereka dengan produk itu, visualisasi citra merek biasanya cukup rinci.

Komponen citra merek
Terdapat tiga komponen citra merek: konten, favorabilitas, dan kekuatan. Komponen-komponen ini biasanya tercermin pada hasil pengukuran citra melalui uji diferensial semantik. Dalam penerapan teknik pengukuran ini, konsumen diminta memberi evaluasi terhadap skala bipolar yang berbeda (seperti ‘bermutu rendah versus bermutu tinggi’ dan ‘kuno versus modern’). Setiap skala terdiri dari lima atau tujuh posisi. Dalam memproses hasilnya, posisi di bagian kiri biasanya bernilai negatif, posisi tengah bernilai nol dan posisi terjauh di sebelah kanan ditandai positif. Pada Bagan ditampilkan skala tujuh-poin, dengan kutub ‘kuno versus modern’. Berdasarkan teknik pengukuran ini, tidak hanya konten citra merek yang ditentukan (apakah merek dirasa kuno atau modern), tapi juga favorabilitas (negatif versus positif) dan derajat kekuatan (sejauh mana asosiasi dirasa negatif atau positif).
Konten citra merek mengacu pada asosiasi yang mungkin dibangkitkan oleh sebuah merek. Sebagian merek membangkitkan banyak asosiasi, sementara lainnya sedikit saja. Asosiasi bisa saja terkait dengan kognisi (pengetahuan) dan perasaan, namun bisa juga, misalnya, terkait dengan bau dan bunyi.
Penelitian citra merek pada sejumlah merek margarin di Belanda antara lain menunjukkan bahwa ketika ditanya asosiasi merek, maka konsumen lebih banyak menyebutkan aspek-aspek dari pesan iklan. Namun, dalam citra perlu dibedakan antara manifest content dan latent content. Asosiasi yang bisa diverbalkan secara langsung oleh konsumen membentuk manifest content citra merek. Latent content citra merek mengacu pada asosiasi yang oleh konsumen tidak langsung disebutkan, tapi bisa diukur dengan teknik tertentu (misalnya, diferensial semantik pra-desain). Jika kemudian peneliti ‘membantu’ konsumen dengan menanyai pendapat mereka atas sejumlah dimensi yang tidak mereka sebut secara spontan, maka ternyata konsumen memiliki citra merek yang jelas dan mampu menggambarkan profil merek.
Pemasar bisa memilih berbagai metode untuk mengukur citra bergantung pada sedalam apa citra telah menancap di benak konsumen. Sejauh mana elaborasi citra merek juga bergantung pada pilihan positioning. Merek yang diposisikan secara fungsional diharapkan bisa membentuk asosiasi yang lebih konkret ketimbang merek yang diposisikan secara ekspresif.
Mengenai konten merek, kita bisa bedakan antara asosiasi merek material dan imaterial. Asosiasi merek material bisa dibagi menjadi asosiasi yang mengacu pada sifat aspek material tertentu (seperti keandalan dan keawetan) dan asosiasi yang mengacu pada ada atau tiadanya atribut tertentu. Kategori pertama terkait dengan karakteristik yang sama-sama dimiliki semua produk di kategori itu, tetapi sifatnya bisa berbeda untuk masing-masing merek. Sebagai contoh, semua kamera punya lensa, tapi merek Hasselblad membentuk asosiasi dengan lensa berkualitas tinggi.
Aspek lain asosiasi merek material adalah asosiasi yang menunjukkan ada atau tidak adanya atribut tertentu. Merek Citroën, misalnya, akan membangkitkan asosiasi pada sistem suspensi yang unik. Asosiasi merek imaterial mengarah pada aspek-aspek yang tak terkait dengan produk (fisik). Contoh-contohnya bisa dikaitkan dengan gaya hidup atau dunia pengalaman tertentu.
Pada dasarnya, favorabilitas citra merek bisa memiliki dua nilai: negatif atau positif. Subyeknya disini bukanlah konten aktual asosiasi itu, tapi ‘perasaan’ yang dialami konsumen pada setiap asosiasi (dan lalu khususnya arah perasaannya: negatif atau positif). Misalnya, mobil-mobil buatan Alfa-Romeo dulu diasosiasikan dengan karat (asosiasi negatif) sekaligus dengan daya akselerasi tinggi (asosiasi positif).
Kekuatan citra merek terkait dengan sejauh mana asosiasi dihubungkan dengan merek itu (‘saya mengasosiasikan Nivea pada kelembutan dan warna biru; meski asosiasi pada kelembutan lebih kuat’). Istilah umum untuk favorabilitas dan kekuatan adalah reputasi. Reputasi sebuah merek dikaitkan dengan sejauh mana merek bisa menimbulkan asosiasi positif dan kuat. Kata ‘reputasi’ sering dipakai guna menunjukkan kesan global sebuah merek. Merek dengan reputasi sangat positif umumnya adalah merek-merek yang didasarkan pada strategi prestis (lihat, misalnya, Rolls-Royce, sebuah merek dengan reputasi sangat bagus di bidang mesin mobil maupun mesin pesawat).::

Kategori: Branding, Pemasaran . Yang berkaitan: asosiasi, aspek imaterial, bipolar, citra merek, diferensiasi semantik, evaluasi, favorabilitas, gambaran mental, Hasselblad, iklan, konten, Ogilvy, pengukuran, positioning, reputasi, visual .
Disadur oleh: LIA YULISTINO SUGIONO

A LOLITA DICTION

Posted on by lia yulistino sugiono

There was a girl named Lolita ; she said….
and I'm not supposed to play..! What? Mon coeur est a dady. You know, le proprietaire. No!
While tearing off a game of golf,
I may make a play for the caddy,
but when I do, I don't follow through
'cause my heart belongs to dady.
If I invite a boy some night to dine on my fine finnan haddie,
I just adore his asking for more, but,
my heart belongs to dady.
Yes, my heart belongs to dady, so I simply couldn't be bad.
Yes my heart belongs to dady.
So I want to warn you laddie,
though I know that you're perfectly swell,
that my heart belongs to dady cause my dady he treated it so..
Well he was…
While tearing off a game of golf,
I may make a play for the caddy,
but when I do, I don't follow through,ooh, dady.
I f I invite a boy some night to cook up a fine enchilada,
though spanish rice is all very nice..
my heart belongs to my dady so I simply couldn't be bad.
So, I want to warn you laddie,
though I know that you're perfectly swell,
that my heart belongs to my dady
'cause my dady he treated it..so..
That little old man he just treats it so good!

Maybe I would wanted it that way….