CORPORATE IMAGE

Posted on Kamis, 10 Juni 2010 by lia yulistino sugiono

Perang merek yang bikin semua orang di dunia pemasaran menahan nafas, mengerinyitkan dahi dan lalu garuk-garuk kepala, tentu saja antara dua merek raksasa yaitu Coca Cola dan Pepsi. Kedua-duanya berasal dari Amerika Serikat, negara yang sekarang lagi sibuk mengadakan pilcapres.

Semenjak dua merek tersebut ditahbiskan, masing-masing pada tahun 1886 dan 1903 antara keduanya sudah terjadi persaingan, saling sikut dan perang iklan, baik iklan cetak dan video. Mereka berambisi bisa meraih dominasi pasar minuman ringan berkarbonasi. Bisa dimaklumi kalau terkadang masalah etika sedikit terkesampingkan.
Kita ambil ilmunya saja lah. Nah, kini sambil tidak mempermasalahkan dulu masalah etika, mari kita lebih menyorot kreativitas Coca Cola dan Pepsi dalam upayanya memenangi simpati dan preferensi pelanggan.

Kata ‘citra’ biasanya menunjukkan ‘gambaran’ yang dimiliki seseorang tentang sesuatu atau seseorang, atau dalam makna khusus, ‘pendapat stereotipikal publik umum tentang
seseorang atau sesuatu’.

Gambaran visual ini mungkin didasarkan pada ciri konkrit obyek atau orang tertentu serta segala jenis aspek imaterial atau aspek tak relevan.
Kita kerap telah membentuk citra tentang sesuatu atau seseorang walau belum bersentuhan dengan obyek atau subyek tadi. Gardner dan Levy mungkin penulis pertama yang memakai istilah ‘citra’ dalam konteks pemasaran. David Ogilvy akhirnya jadi perintis yang menekankan pentingnya citra dalam iklan. Aspek penting pada citra merek adalah gambaran mental yang dimiliki konsumen terhadap produk atau merek. Citra merek didefinisikan sebagai berikut:
Citra merek adalah gambaran mental subyektif tentang merek yang sama-sama dianut sekelompok konsumen.
Tergantung sejauh mana konsumen terekspos komunikasi pemasaran dan pengalaman konsumsi mereka dengan produk itu, visualisasi citra merek biasanya cukup rinci.


Komponen citra merek
Terdapat tiga komponen citra merek: konten, favorabilitas, dan kekuatan. Komponen-komponen ini biasanya tercermin pada hasil pengukuran citra melalui uji diferensial semantik. Dalam penerapan teknik pengukuran ini, konsumen diminta memberi evaluasi terhadap skala bipolar yang berbeda (seperti ‘bermutu rendah versus bermutu tinggi’ dan ‘kuno versus modern’). Setiap skala terdiri dari lima atau tujuh posisi. Dalam memproses hasilnya, posisi di bagian kiri biasanya bernilai negatif, posisi tengah bernilai nol dan posisi terjauh di sebelah kanan ditandai positif. Pada Bagan ditampilkan skala tujuh-poin, dengan kutub ‘kuno versus modern’. Berdasarkan teknik pengukuran ini, tidak hanya konten citra merek yang ditentukan (apakah merek dirasa kuno atau modern), tapi juga favorabilitas (negatif versus positif) dan derajat kekuatan (sejauh mana asosiasi dirasa negatif atau positif).
Konten citra merek mengacu pada asosiasi yang mungkin dibangkitkan oleh sebuah merek. Sebagian merek membangkitkan banyak asosiasi, sementara lainnya sedikit saja. Asosiasi bisa saja terkait dengan kognisi (pengetahuan) dan perasaan, namun bisa juga, misalnya, terkait dengan bau dan bunyi.
Penelitian citra merek pada sejumlah merek margarin di Belanda antara lain menunjukkan bahwa ketika ditanya asosiasi merek, maka konsumen lebih banyak menyebutkan aspek-aspek dari pesan iklan. Namun, dalam citra perlu dibedakan antara manifest content dan latent content. Asosiasi yang bisa diverbalkan secara langsung oleh konsumen membentuk manifest content citra merek. Latent content citra merek mengacu pada asosiasi yang oleh konsumen tidak langsung disebutkan, tapi bisa diukur dengan teknik tertentu (misalnya, diferensial semantik pra-desain). Jika kemudian peneliti ‘membantu’ konsumen dengan menanyai pendapat mereka atas sejumlah dimensi yang tidak mereka sebut secara spontan, maka ternyata konsumen memiliki citra merek yang jelas dan mampu menggambarkan profil merek.
Pemasar bisa memilih berbagai metode untuk mengukur citra bergantung pada sedalam apa citra telah menancap di benak konsumen. Sejauh mana elaborasi citra merek juga bergantung pada pilihan positioning. Merek yang diposisikan secara fungsional diharapkan bisa membentuk asosiasi yang lebih konkret ketimbang merek yang diposisikan secara ekspresif.
Mengenai konten merek, kita bisa bedakan antara asosiasi merek material dan imaterial. Asosiasi merek material bisa dibagi menjadi asosiasi yang mengacu pada sifat aspek material tertentu (seperti keandalan dan keawetan) dan asosiasi yang mengacu pada ada atau tiadanya atribut tertentu. Kategori pertama terkait dengan karakteristik yang sama-sama dimiliki semua produk di kategori itu, tetapi sifatnya bisa berbeda untuk masing-masing merek. Sebagai contoh, semua kamera punya lensa, tapi merek Hasselblad membentuk asosiasi dengan lensa berkualitas tinggi.
Aspek lain asosiasi merek material adalah asosiasi yang menunjukkan ada atau tidak adanya atribut tertentu. Merek Citroën, misalnya, akan membangkitkan asosiasi pada sistem suspensi yang unik. Asosiasi merek imaterial mengarah pada aspek-aspek yang tak terkait dengan produk (fisik). Contoh-contohnya bisa dikaitkan dengan gaya hidup atau dunia pengalaman tertentu.
Pada dasarnya, favorabilitas citra merek bisa memiliki dua nilai: negatif atau positif. Subyeknya disini bukanlah konten aktual asosiasi itu, tapi ‘perasaan’ yang dialami konsumen pada setiap asosiasi (dan lalu khususnya arah perasaannya: negatif atau positif). Misalnya, mobil-mobil buatan Alfa-Romeo dulu diasosiasikan dengan karat (asosiasi negatif) sekaligus dengan daya akselerasi tinggi (asosiasi positif).
(‘saya mengasosiasikan Nivea pada kelembutan dan warna biru; meski asosiasi pada kelembutan lebih kuat’). Istilah umum untuk favorabilitas dan kekuatan adalah reputasi. Reputasi sebuah merek dikaitkan dengan sejauh mana merek bisa menimbulkan asosiasi positif dan kuat. Kata ‘reputasi’ sering dipakai guna menunjukkan kesan global sebuah merek. Merek dengan reputasi sangat positif umumnya adalah merek-merek yang didasarkan pada strategi prestis (lihat, misalnya, Rolls-Royce, sebuah merek dengan reputasi sangat bagus di bidang mesin mobil maupun mesin pesawat).::
Kendati perannya telah terhitung sejak lama, namun baru pada abad 20 merek dan asosiasi merek menjadi begitu penting bagi pemasar. Bisa dikatakan pemasaran modern diwarnai oleh penciptaan berbagai merek.

Pemasar saat itu mulai mengandalkan riset untuk membantu mereka merumuskan dan mengembangkan basis diferensiasi merek. Penggunaan atribut, nama, kemasan, strategi distribusi, dan iklan diyakini bisa menancapkan asosiasi merek yang unik di benak pelanggan. Sejak saat itu, terjadi pergeseran besar-besaran dari komoditas menjadi produk bermerek. Alhasil dalam membeli sebuah produk, konsumen tidak lagi sekedar berpatokan pada tinggi rendahnya harga, namun lebih melihat basis diferensiasi merek. Sejak itu pertumbuhan merek baru makin bertumbuh pesat. Ribuan merek baru dilansir tiap tahunnya.

Nah, kini kita tahu beda antara merek dan produk, namun tahukah anda bahwa perlu waktu berpuluh tahun untuk menyadari perbedaan ini secara eksplisit dalam ilmu pemasaran? Kalau kita runut ke belakang, maka pakar pertama yang menjlentrehkan perbedaan ini adalah Gardner dan Levy yang menulis artikel pada tahun 1955 dengan judul ‘The product and the brand’.

Merek punya nilai tertentu bagi perusahaan, dan nilai itu bisa saja berlipat-ganda dari nilai real estate, gedung dan mesin-mesin milik perusahaan.Mudahnya, nilai merek bagi perusahaan kita sebut ‘ekuitas merek’. Di awal tahun 1980an istilah ini makin populer di kalangan finansial Amerika. Awalnya, ekuitas merek lebih dianggap sebagai aset (finansial) yang penting bagi perusahaan sehingga ekuitas merek bisa ditafsirkan sebagai nilai finansial merek. Pertengahan 1980an, istilah ‘ekuitas merek’ juga menjadi perhatian dunia pemasaran. Di dunia pemasaran, ekuitas merek selain diakui mampu menjanjikan keuntungan finansial, sekaligus juga berarti manfaat manajemen dan stratejik. Pakar lain menggunakan istilah ‘ekuitas merek’ guna menunjukkan nilai merek di mata konsumen.

Akhir tahun 1980an, dunia pemasaran di Barat diwarnai dengan diskusi yang membahas metode ekuitas merek sebagai tema sentral. Langkah awal menuju konseptualisasi nilai merek bagi perusahaan ditulis oleh David Aaker dalam bukunya, Managing Brand Equity, terbit tahun 1991.
Makin sengitnya persaingan sejak dekade 1980an, lalu tuntutan pasar yang cepat berubah serta makin kuatnya kekuatan peritel dan juga dampak tekanan investor, membuat profiteering menjadi tujuan utama perusahaan. Investor atau pemegang saham kerap tak sabar pada reward tertunda, sehingga investasi merek jangka panjang tak begitu diprioritaskan. Pada tahun 1990an fenomena ini mendorong reorganisasi portofolio merek, merek yang tak-menguntungkan disingkirkan atau dijual. Bagi merek-merek lain, upaya jangka pendek (seperti promosi penjualan) sering menjadi solusi dari kemauan investor dan ancaman eksternal. Karena lebih bersifat jangka pendek, para manajer bergelar MBA itu kadang diolok-olok sebagai ‘Murderers of Brand Assets’. Karenanya Aaker mengusulkan adanya brand equity managers yaitu pejabat yang diberi wewenang guna mencegah nilai merek makin tergerus. Konsep brand equity managers ini menunjukkan bahwa merek sukses diakui sebagai aset penting perusahaan.

Definisi merek juga berubah dari merek sebagai product-plus menjadi merek sebagai konsep. Dulu, merek adalah pelengkap produk: pabrikan membuat produk dan lalu sebuah nama dilekatkan, yang kemudian perlu dibuat bermakna di mata konsumen (merek sebagai product-plus). Namun, kini tak sedikit kita jumpai perusahaan yang mengembangkan konsep yang mereka harapkan bisa memikat kelompok konsumen tertentu (merek sebagai konsep). Konsep ini disusun dan diterjemahkan dalam strategi komunikasi. Baru setelah itu dicari produk dan pabrikannya (maka merek lebih dilihat sebagai konsep independen, yang dapat dikaitkan dengan sejumlah produk). Pendekatan brand-as-a-concept menjadi makin penting akhir-akhir ini; contohnya The Body Shop. Menurut pandangan lama, strategi perusahaan adalah ‘product-driven,’ dan menurut paradigma baru, strategi lebih bersifat ‘market-driven.’

Inti pendekatan brand-as-a-concept adalah bahwa pemasar lebih dulu membuat konsep menarik dan kuat yang tidak terlalu berakar pada keunggulan produk tapi lebih ke lifestyle yang bisa diasosiasikan dengan merek (Nike, Swatch, dll.). Pendekatan brand-as-a-concept juga menyiratkan adanya pergeseran pemasaran dari manajemen transaksi ke manajemen relasi (relationship marketing), di mana merek menjadi link penghubung antara pemilik merek dan pengguna merek.
Kata ‘citra’ biasanya menunjukkan ‘gambaran’ yang dimiliki seseorang tentang sesuatu atau seseorang, atau dalam makna khusus, ‘pendapat stereotipikal publik umum tentang seseorang atau sesuatu’.

Gambaran visual ini mungkin didasarkan pada ciri konkrit obyek atau orang tertentu serta segala jenis aspek imaterial atau aspek tak relevan.
Kita kerap telah membentuk citra tentang sesuatu atau seseorang walau belum bersentuhan dengan obyek atau subyek tadi. Gardner dan Levy mungkin penulis pertama yang memakai istilah ‘citra’ dalam konteks pemasaran. David Ogilvy akhirnya jadi perintis yang menekankan pentingnya citra dalam iklan. Aspek penting pada citra merek adalah gambaran mental yang dimiliki konsumen terhadap produk atau merek.

Citra merek didefinisikan sebagai berikut:
Citra merek adalah gambaran mental subyektif tentang merek yang sama-sama dianut sekelompok konsumen.
Tergantung sejauh mana konsumen terekspos komunikasi pemasaran dan pengalaman konsumsi mereka dengan produk itu, visualisasi citra merek biasanya cukup rinci.

Komponen citra merek
Terdapat tiga komponen citra merek: konten, favorabilitas, dan kekuatan. Komponen-komponen ini biasanya tercermin pada hasil pengukuran citra melalui uji diferensial semantik. Dalam penerapan teknik pengukuran ini, konsumen diminta memberi evaluasi terhadap skala bipolar yang berbeda (seperti ‘bermutu rendah versus bermutu tinggi’ dan ‘kuno versus modern’). Setiap skala terdiri dari lima atau tujuh posisi. Dalam memproses hasilnya, posisi di bagian kiri biasanya bernilai negatif, posisi tengah bernilai nol dan posisi terjauh di sebelah kanan ditandai positif. Pada Bagan ditampilkan skala tujuh-poin, dengan kutub ‘kuno versus modern’. Berdasarkan teknik pengukuran ini, tidak hanya konten citra merek yang ditentukan (apakah merek dirasa kuno atau modern), tapi juga favorabilitas (negatif versus positif) dan derajat kekuatan (sejauh mana asosiasi dirasa negatif atau positif).
Konten citra merek mengacu pada asosiasi yang mungkin dibangkitkan oleh sebuah merek. Sebagian merek membangkitkan banyak asosiasi, sementara lainnya sedikit saja. Asosiasi bisa saja terkait dengan kognisi (pengetahuan) dan perasaan, namun bisa juga, misalnya, terkait dengan bau dan bunyi.
Penelitian citra merek pada sejumlah merek margarin di Belanda antara lain menunjukkan bahwa ketika ditanya asosiasi merek, maka konsumen lebih banyak menyebutkan aspek-aspek dari pesan iklan. Namun, dalam citra perlu dibedakan antara manifest content dan latent content. Asosiasi yang bisa diverbalkan secara langsung oleh konsumen membentuk manifest content citra merek. Latent content citra merek mengacu pada asosiasi yang oleh konsumen tidak langsung disebutkan, tapi bisa diukur dengan teknik tertentu (misalnya, diferensial semantik pra-desain). Jika kemudian peneliti ‘membantu’ konsumen dengan menanyai pendapat mereka atas sejumlah dimensi yang tidak mereka sebut secara spontan, maka ternyata konsumen memiliki citra merek yang jelas dan mampu menggambarkan profil merek.
Pemasar bisa memilih berbagai metode untuk mengukur citra bergantung pada sedalam apa citra telah menancap di benak konsumen. Sejauh mana elaborasi citra merek juga bergantung pada pilihan positioning. Merek yang diposisikan secara fungsional diharapkan bisa membentuk asosiasi yang lebih konkret ketimbang merek yang diposisikan secara ekspresif.
Mengenai konten merek, kita bisa bedakan antara asosiasi merek material dan imaterial. Asosiasi merek material bisa dibagi menjadi asosiasi yang mengacu pada sifat aspek material tertentu (seperti keandalan dan keawetan) dan asosiasi yang mengacu pada ada atau tiadanya atribut tertentu. Kategori pertama terkait dengan karakteristik yang sama-sama dimiliki semua produk di kategori itu, tetapi sifatnya bisa berbeda untuk masing-masing merek. Sebagai contoh, semua kamera punya lensa, tapi merek Hasselblad membentuk asosiasi dengan lensa berkualitas tinggi.
Aspek lain asosiasi merek material adalah asosiasi yang menunjukkan ada atau tidak adanya atribut tertentu. Merek Citroën, misalnya, akan membangkitkan asosiasi pada sistem suspensi yang unik. Asosiasi merek imaterial mengarah pada aspek-aspek yang tak terkait dengan produk (fisik). Contoh-contohnya bisa dikaitkan dengan gaya hidup atau dunia pengalaman tertentu.
Pada dasarnya, favorabilitas citra merek bisa memiliki dua nilai: negatif atau positif. Subyeknya disini bukanlah konten aktual asosiasi itu, tapi ‘perasaan’ yang dialami konsumen pada setiap asosiasi (dan lalu khususnya arah perasaannya: negatif atau positif). Misalnya, mobil-mobil buatan Alfa-Romeo dulu diasosiasikan dengan karat (asosiasi negatif) sekaligus dengan daya akselerasi tinggi (asosiasi positif).
Kekuatan citra merek terkait dengan sejauh mana asosiasi dihubungkan dengan merek itu (‘saya mengasosiasikan Nivea pada kelembutan dan warna biru; meski asosiasi pada kelembutan lebih kuat’). Istilah umum untuk favorabilitas dan kekuatan adalah reputasi. Reputasi sebuah merek dikaitkan dengan sejauh mana merek bisa menimbulkan asosiasi positif dan kuat. Kata ‘reputasi’ sering dipakai guna menunjukkan kesan global sebuah merek. Merek dengan reputasi sangat positif umumnya adalah merek-merek yang didasarkan pada strategi prestis (lihat, misalnya, Rolls-Royce, sebuah merek dengan reputasi sangat bagus di bidang mesin mobil maupun mesin pesawat).::

Kategori: Branding, Pemasaran . Yang berkaitan: asosiasi, aspek imaterial, bipolar, citra merek, diferensiasi semantik, evaluasi, favorabilitas, gambaran mental, Hasselblad, iklan, konten, Ogilvy, pengukuran, positioning, reputasi, visual .
Disadur oleh: LIA YULISTINO SUGIONO

0 Responses to "CORPORATE IMAGE":