SEMIOTIKA PERIKLANAN

Posted on Jumat, 17 Juli 2009 by lia yulistino sugiono

Oleh : Lia Yulistino , S.sos

Semiotika adalah cabang ilmu yang semula berkembang dalam bidang bahasa.Dalam perkembangannya kemudian semiotika bahkan merasuk pada semua segi kehidupan umat manusia. Semiotika menurut Zoest (1992) adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya; cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda yang lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.

Charles Sanders Peirce (Zoest, 1992), ahli filsafat dan tokoh terkemuka dalam semiotika modern Amerika menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir dengan sarana tanda, manusia hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda. Tanda yang dimaksud dapat berupa tanda visual yang bersifat non-verbal, maupun yang bersifat verbal.

Semiotika adalah ilmu tanda, istilah ini berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Winfried Noth (1993:13) menguraikan asal-usul kata semiotika; secara etimologi semiotika dihubungkan dengan kata Yunani sign = sign dan signal = signal, sign .

Dalam komunikasi massa, semua bentuk dan isi media massa pada dasarnya adalah tanda. Iklan adalah tanda, berita adalah tanda, foto adalah tanda, film adalah tanda, suara penyiar radio adalah tanda, presenter adalah tanda, bahkan pesawat televisi itu sendiri juga merupakan tanda.

Menurut John Fiske (1990) semiologi memiliki tiga bidang studi utama. Pertama, tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. Kedua, kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi untuk mentransmisikannya. Ketiga, kebudayaan atau tempat kode tanda bekerja. Ini gilirannya tergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

Dalam semiologi, penerima atau pembaca pesan, dipandang memiliki peran yang aktif, dibandingkan dalam paradigma transmisi di mana mereka dianggap pasif. Semiologi lebih suka memilih istilah “pembaca” untuk komunikan, karena “pembaca” pada dasarnya aktif dalam menciptakan pemaknaan teks atau tanda (sign) dengan membawa pengalaman, sikap, emosi terhadap teks atau tanda tersebut (Fiske, 1990).

Diantara sekian banyak pakar tentang semiotika ada dua orang yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang dapat dianggap sebagai pemuka-pemuka semiotika modern (Noth 1990:39). Kedua tokoh inilah yang memunculkan dua aliran utama semiotika modern : yang satu menggunakan konsep Peirce dan yang lain menggunakan konsep Saussure. Ketidaksamaan itu mungkin terutama disebabkan oleh perbedaan yang mendasar : Peirce adalah ahli filsafat dan ahli logika, sedangkan Saussure adalah cikal-bakal linguistik umum. Pemahaman atas dua gagasan ini merupakan syarat mutlak bagi mereka yang ingin memperoleh pengetahuan dasar tentang semiotika.

Menurut Saussure, tanda mempunyai dua entitas, yaitu signifier (signifiant / wahana tanda / penanda / yang mengutarakan / simbol) dan signified (signifie / makna / petanda / yang diutarakan / thought of reference). Tanda menurut Saussure adalah kombinasi dari sebuah konsep dan sebuah sound-image yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara signifier dan signified adalah arbitrary (mana suka). Tidak ada hubungan logis yang pasti diantara keduanya, yang mana membuat teks atau tanda menjadi menarik dan juga problematik pada saat yang bersamaan (Berger, 1998: 7-8).

Menurut Peirce (dalam Hoed,1992) tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa pengalaman, pikiran, gagasan atau perasaan. Jika sesuatu, misalnya A adalah asap hitam yang mengepul di kejauhan, maka ia dapat mewakili B, yaitu misalnya sebuah kebakaran (pengalaman). Tanda semacam itu dapat disebut sebagai indeks; yakni antara A dan B ada keterkaitan (contiguity). Sebuah foto atau gambar adalah tanda yang disebut ikon. Foto mewakili suatu kenyataan tertentu atas dasar kemiripan atau similarity. Tanda juga bisa berupa lambang, jika hubungan antara tanda itu dengan yang diwakilinya didasarkan pada perjanjian (convention Ketika semua bentuk komunikasi adalah tanda, maka dunia ini penuh dengan tanda. Ketika kita berkomunikasi, kita menciptakan tanda sekaligus makna. Dalam perspektif semiologi atau semiotika, pada akhirnya komunikasi akan menjadi suatu ilmu untuk mengungkapkan pemaknaan dari tanda yang diciptakan oleh proses komunikasi itu sendiri.

Mempertalikan semiotika dan bahasa media nampaknya dapat menjadi sesuatu yang menarik. Bukan saja karena persoalan filosofis mendasar yang acapkali menjadi perdebatan, melainkan juga karena tidak ada jalur tunggal untuk membongkar praktik pertandaan (baca: bahasa) media.

Pada sisi yang berlawanan, sebagian lagi mengatakan bahwa apa yang tersaji dalam media merupakan representasi. Realitas yang tampil di media merupakan hasil konstruksi yang boleh jadi telah mengalami penambahan maupun pengurangan karena turut campurnya faktor subyektivitas dari pelaku representasi alias orang-orang yang terlibat dalam media. Tidaklah sesederhana pandangan reflektif, penggunaan istilah representasi berangkat dari kesadaran bahwa apa yang tersaji di media seringkali tidak selalu persis dengan apa yang ada di realitas empirik. Meyakini realitas media sebagai hasil konstruksi sama halnya dengan memandang suatu fenomena. Dalam bahasa konstruktivis, peran pembaca untuk mengidentifikasi bagian-bagian yang tak terlihat itu disebut sebagai ‘memaknai’.

Ketika realitas media telah tersaji ke ruang publik maka media tidak lagi mempunyai otoritas untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki sehingga peran pemaknaan pun berpindah pada pembaca. Ketika pembaca mempunyai kekuasaan penuh untuk memaknai sebuah berita, maka peran bahasa menjadi penting. Bahasa menjadi medium istimewa yang melaluinya sebuah makna diproduksi. Bahasa beroperasi sebagai simbol yang mengartikan atau merepresentasikan makna yang ingin dikomunikasikan oleh pelakunya, atau dalam istilah yang dipakai Stuart Hall untuk menyatakan hal ini, fungsi bahasa adalah sebagai tanda.Tanda mengartikan atau merepresentasikan konsep-konsep, gagasan atau perasaan sedemikian rupa yang memungkinkan seseorang ‘membaca’, men-decode atau menginterpretasikan maknanya.

Semiotika dan Komunikasi

Sebuah cara memulai pemahaman, komunikasi melibatkan tanda dan kode. Tanda adalah material atau tindakan yang menunjuk pada ‘sesuatu’, sementara kode adalah sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan dan menentukan bagaimana tanda dihubungkan dengan yang lain. Pada tulisan ini pemahaman tentang komunikasi diadopsi dari definisi yang dikemukakan oleh John Fiske, yakni komunikasi sebagai “interaksi sosial melalui pesan”.

Ringkasnya, cukuplah dikatakan bahwa pada dasarnya studi komunikasi merefleksikan dua aliran utama, yakni aliran proses dan aliran semiotik.Pada aliran pertama, basis pengertiannya cenderung linear, seperti halnya definisi komunikasi yang menyatakan bahwa ‘komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan.’ Aliran ini memberi perhatian utama pada bagaimana sender mentransmisikan pesan kepada receiver melalui channel. Model Laswellian seringkali menjadi rujukan utama (rumus SMCRE: Source, Messages, Channel, Receiver, dan Effect) untuk menggambarkan bagaimana komunikasi berlangsung. Dalam aliran proses, efisiensi dan akurasi seringkali mendapat perhatian penting, sehingga ketika efektivitas komunikasi dinilai kurang atau gagal maka pemeriksaan akan segera dilakukan pada elemen-elemen proses itu untuk menemukan letak kegagalan dan kemudian memperbaikinya. Pendekatan ini terlihat mekanistik, karena berupaya menyederhanakan komunikasi dalam suatu model yang secara pasti dapat ditengarai dan dilucuti satu persatu unsur-unsurnya tanpa terlalu memperhitungkan bagaimana memntingkan makna-makna yang bersifat subyektif.

Pusat perhatian semiotika pada kajian komunikasi adalah menggali apa yang tersembunyi di balik bahasa. Terobosan penting dalam semiotika adalah digunakannya linguistik (mungkin ini lebih terasa beraroma Saussurean) sebagai model untuk diterapkan pada fenomena lain di luar bahasa. Saussure mendefinisikan semiotika sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial”.[8] Tanda merupakan istilah yang sangat penting, yang terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda mewakili elemen bentuk atau isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Keduanya merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan sebagaimana layaknya dua bidang pada sekeping mata uang. Kesatuan antara penanda dan petanda itulah yang disebut sebagai tanda. Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa. Suatu kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas bahasa.

Pengkajian tentang konteks dalam pemaknaan barangkali merupakan sebuah kerja yang menarik. Bukan saja karena dimensi kontekstual yang berbeda akan melahirkan makna yang berbeda; melainkan juga bahwa sebuah analisis semiotika akan mampu menggali hal-hal yang sifatnya subtle dari penggunaan bahasa seperti halnya tentang seperangkat nilai atau bahkan ideologi yang tersembunyi di balik penggunaan bahasa. Pada tingkat ini, semiotika seringkali ditunjuk sebagai model awal dari analisis yang mampu menampilkan bekerjanya ideologi dalam teks.Terdapat banyak varian pengertian ideologi, meski secara singkat dapat dapat dimengerti bahwa ideologi menunjuk pada serangkaian ide yang menyusun realitas kelompok, sebuah sistem representasi atau kode yang menentukan bagaimana sesorang menggambarkan dunia atau lingkungannya. Varian lain dapat pula diambil dari Marxisme klasik menggambarkan ideologi sebagai kesadaran palsu (false conciousness) yang diabadikan oleh kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat.Pengertian lain dapat pula diambil dari pos-Marxisme yang menjadi cikal bakal teori kritis.

Menurut penulis, setidaknya terdapat dua model utama dari penelitian yang akrab digunakan untuk melihat bagaimana cara kerja ideologi melalui teks, yakni analisis semiotika dan analisis wacana kritis. Analisis wacana barangkali merupakan kelanjutan dari analisis semiotika, karena secara historis memang lahirnya didahului oleh analisis semiotika. Dalam perkembangannya, analisis wacana memang cenderung untuk mengambil posisi sebagai metode penggali kerja ideologi dan hubungan kekuasaan dalam teks. Kendati demikian, banyak istilah yang secara mendasar diambil dari tradisi semiotika. Dalam beberapa hal, analisis semiotika berkemungkinan untuk menggali ideologi di balik teks, sehingga batas yang tegas antara kedua jenis analisis itu memang agak kabur. Preskripsi sederhana untuk memperlihatkan perbedaan keduanya kira-kira adalah bahwa analisis semiotika berupaya melihat aspek ‘what’ dan ‘how’ dari teks, sementara analisis wacana cenderung kepada menjawab pertanyaan tentang ‘how’dan ‘why’ dari teks.

Periklanan adalah fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan yang ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnis tanpa mengandalkan iklan. Demikian pentingnya peran iklan dalam bisnis modern sehingga salah satu bonafiditas perusahaan terletak pada berapa besar dana yang dialokasikan untuk iklan tersebut. Di samping itu, iklan merupakan jendela kamar dari sebuah perusahaan. Keberadaannya menghubungkan perusahaan dengan masyarakat. Khususnya konsumen.
Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga merupakan kegiatan komunikasi. Kegiatan pemasaran meliputi strategi pemasaran, yakni logika pemasaran yang dipakai unit bisnis untuk mencapai tujuan pemasaran (Kotler, 1991:416).
Menurut Liliweri (1991:20), kegiatan komunikasi adalah penciptaan interaksi perorangan dengan mengunakan tanda-tanda yang tegas. Komunikasi juga berarti pembagian unsur-unsur perilaku, atau cara hidup dengan eksistensi seperangkat ketentuan dan pemakaian tanda-tanda. Dari segi komunikasi, rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang dituju, dan melalui media apa sajakah iklan tersebut sebaiknya disampaikan. Karena itu, untuk membuat komunikasi menjadi efektif, harus dipahami betul siapa khalayak sasarannya, secara kuantitatif maupun kualitatif.
Pemahaman secara kuantitatif akan menjamin bahwa jumlah pembeli, dan frekuensi pembelian yang diperoleh akan sejalan dengan target penjualan yang telah ditetapkan. Pemahaman secara kualitatif akan menjamin bahwa pesan iklan yang disampaikan akan sejalan dengan tujuan pemasaran yang telah ditetapkan.
Sementara itu, periklanan menurut Kamus Istilah Periklanan Indonesia adalah pesan yang dibayar dan disampaikan melalui sarana media, antara lain: pers, radio, televisi, bioskop, yang bertujuan membujuk konsumen untuk melakukan tindak membeli atau mengubah perilakunya (Nuradi, 1996:4).
Iklan pada dasarnya adalah produk kebudayaan massa. Produk kebudayaan masyarakat industri yang ditandai oleh produksi dan konsumsi massal. Kepraktisan dan pemuasan jangka pendek antara lain merupakan nilai-nilai kebudayaan massa (Jefkins, 1996:27). Artinya, massa dipandang tidak lebih sebagai konsumen. Hubungan antara produsen dan konsumen adalah hubungan komersial semata saja. Interaksinya, tidak ada fungsi lain selain memanipulasi kesadaran, selera, dan perilaku konsumen.
Jenis iklan yang dipaparkan di atas adalah jenis iklan komersial. Pada dasarnya, periklanan dibagi menjadi dua. Pertama, iklan komersial. Kedua, iklan nonkomersial atau biasa disebut dengan istilah Iklan Layanan Masyarakat (ILM).

TANDA (IKON, INDEKS, SIMBOL)
Merujuk teorinya Pierce, maka tanda-tanda dalam gambar dapat dilihat dari jenis tanda yang digolongkan dalam semiotik. Di antaranya: ikon, indeks dan simbol (Noth, 1995:45).

Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat pula dikatakan, tanda yang memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya, foto Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah ikon dari Pak Sultan. Peta Yogyakarta adalah ikon dari wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam peta tersebut. Cap jempol Pak Sultan adalah ikon dari ibu jari Pak Sultan.

Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang diwakilinya. Atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya: asap dan api, asap menunjukkan adanya api. Jejak telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu. Tanda tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tangan itu.

Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya: Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya, Garuda Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa.

MAKNA (DENOTATIF DAN KONOTATIF)
Kita semua seringkali menggunakan makna tetapi sering kali pula kita tidak memikirkan makna itu. Ketika kita masuk ke dalam sebuah ruangan yang penuh dengan perabotan, di sana muncul sebuah makna. Seseorang sedang duduk di sebuah kursi dengan mata tertutup dan kita mengartikan bahwa ia sedang tidur atau dalam kondisi lelah. Seseorang tertawa dengan kehadiran kita dan kita mencari makna; apakah ia mentertawai kita atau mengajak kita tertawa? Seorang kawan menyeberang jalan dan melambaikan tangannya ke arah kita, hal itu berarti ia menyapa kita. Makna dalam satu bentuk atau bentuk lainnya, menyampaikan pengalaman sebagian besar umat manusia di semua masyarakat.

Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol mengacu pendapat Spradley (l997:121) adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur: pertama, simbol itu sendiri. Kedua, satu rujukan atau lebih. Ketiga, hubungan antar simbol dengan rujukan. Semuanya itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu, simbol sendiri meliputi apapun yang dapat kita rasakan atau alami.

Menggigil bisa diartikan dan dapat pula menjadi simbol ketakutan, kegembiraan atau yang lainnya. Mencengkeram gigi, mengerdipkan mata, menganggukkan kepala, menundukkan tubuh, atau melakukan gerakan lain yang memungkinkan, semuanya dapat merupakan simbol.

Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas lingkup makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif.
Spradley (l997:122) menjabarkan makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (makna referensial). Piliang (1998:14) mengartikan makna denotatif adalah hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam pertandaan tahap denotatif, Misalnya, ada gambar manusia, binatang, pohon, rumah. Warnanya juga dicatat, seperti merah, kuning, biru, putih, dan sebagainya. Pada tahapan ini hanya informasi data yang disampaikan.

Spradley (l997:123) menyebut makna konotatif meliputi semua signifikansi sugestif dari simbol yang lebih daripada arti referensialnya. Menurut Piliang (1998:17), makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi. Contohnya, gambar wajah orang tersenyum, dapat diartikan sebagai suatu keramahan, kebahagiaan. Tetapi sebaliknya, bisa saja tersenyum diartikan sebagai ekspresi penghinaan terhadap seseorang. Untuk memahami makna konotatif, maka unsur-unsur yang lain harus dipahami pula.

Menurut Williamson, dalam teori semiotika iklan menganut prinsip peminjaman tanda sekaligus peminjaman kode sosial. Misalnya, iklan yang menghadirkan bintang film terkenal, figur bintang film tersebut dipinjam mitosnya, idiologinya, imagenya, dan sifat-sifat glamour dari bintang film tersebut.

Williamson membagi a currency of sign menjadi beberapa bagian. Di antaranya product as signified (produk sebagai petanda, konsep atau makna), product as signifier (produk sebagai penanda, bentuk), product as generator, and product as currency (Williamson, 1984:24-38).

Hal tersebut di atas adalah teori semiotika strukturalis. Kaum strukturalis mencoba mengungkapkan prinsip bahwa perbuatan manusia mengisyaratkan sistem yang diterima dari berbagai hubungan, yang diterapkan oleh Barthes kepada semua praktik sosial. Ia menafsirkan hal-hal itu sebagai sistem tanda yang beroperasi atas model bahasa.
Dalam semiotika struktural berpegang pada prinsip Form Follows Function, dengan mengikuti model semiotika penanda atau fungsi (Piliang, 1998:298). Semiotika struktural mengacu pada Saussure dan Barthes dengan signifier (penanda, bentuk) dan signified (petanda, makna). Hubungan antara penanda dan petanda relatif stabil dan abadi.

Sedangkan pascastrukturalis menurut Piliang, mengacu pada konsep intertekstualitas Julia Kristeva dan konsep dekonstruksi dari Jacques Derrida. Julia Kristeva misalnya, ia tergabung dalam Tel Quel Perancis menggunakan istilah intertekstualitas untuk menjelaskan fenomena dialog antarteks, kesalingtergantungan antara suatu teks (karya) dengan teks (karya) sebelumnya. Kristeva melihat kelemahan dalam konsep referensi dari formalisme dan modernisme yang cenderung melecehkan kutipan atau kuotasi. Bagi Kristeva, sebuah teks atau karya seni tidak lebih semacam permainan dan mosaik kutipan-kutipan dari berbagai teks atau karya masa lalu. Ia mengistilahkan semacam ruang ‘pasca sejarah’ yang di dalamnya beberapa kutipan dari berbagai ruang, waktu, dan kebudayaan yang berbeda-beda saling melakukan dialog. Sebagaimana yang dikemukakan Kristeva, sebuah teks (karya) hanya dapat eksis apabila di dalamnya, beberapa ungkapan yang berasal dari teks-teks lain, silang menyilang dan saling menetralisir satu dengan lainnya.

Sebagai proses linguistik dan diskursif, Kristeva menjelaskan intertektualitas sebagai pelintasan dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya. Ia menggunakan istilah ‘transposisi’ untuk menjelaskan perlintasan di dalam ruang pascasejarah ini, yang di dalamnya satu atau beberapa sistem tanda digunakan untuk menginterogasi satu atau beberapa sistem tanda yang ada sebelumnya. Interogasi tekstual ini dapat menghasilkan ungkapan-ungkapan baru yang sangat kaya dalam bentuk maupun makna. Interogasi ini dapat berupa peminjaman atau penggunaan (pastiche), distorsi, plesetan, atau permainan makna untuk tujuan kritis, sinisme, atau sekadar lelucon (parodi), pengelabuhan identitas dan penopengan (camp), serta reproduksi ikonis atau kitch.

Sebuah teks postmodernisme bukanlah ekspresi tunggal dan individual sang seniman; kegelisahannya, ketakutannya, ketertekanannya, keterasingannya, kegairahannya atau kegembiraannya, melainkan sebuah permainan dengan kutipan-kutipan bahasa.

Kecenderungan posmodernisme adalah menerima segala macam pertentangan dan kontradiksi di dalam karyanya, disebabkan bercampuraduknya berbagai bahasa. Teks posmodernisme, tidak bermakna tunggal, akan tetapi adalah aneka ragam bahasa masa lalu dan sudah ada, dengan asal muasal yang tidak pasti, yang di dalamnya aneka macam tulisan, tak satu pun di antaranya yang orisinal, bercampur dan berinteraksi. Teks adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari berbagai pusat kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya (Piliang, 1998:284).

Ciri-ciri pascastrukturalis: pertama, tanda tidak stabil, sebuah penanda tidak mengacu pada sebuah makna yang pasti. Dalam hal tertentu terjadi ambiguitas, yakni sesuatu yang dianggap sah. Kedua, membongkar hirarki makna. Pada oposisi biner, hirarki makna itu dibongkar. Ketiga, menciptakan heterogenitas makna, terbentuk pluralitas makna, pluralitas tanda yaitu persamaan hak dalam pertandaan.
Dalam postmodernisme menggunakan prinsip Form Follows Fun dengan model semiotika penanda dan makna ironis (Piliang, 1998:298).

ANALISIS SEMIOTIKA IKLAN LAYANAN MASYARAKAT
Penggunaan metode semiotika dalam tulisan berjudul ‘’Semiotika Tanda Verbal dan Tanda Visual Iklan Layanan Masyarakat’’ ini dilandasi oleh sebuah prinsip, bahwa ILM senantiasa mengandung aspek komunikasi dan informasi, yakni karya desain komunikasi visual berujud ILM sebagai bentuk komunikasi.

Selain itu, penggunaan semiotika sebagai metode pembacaan ILM disebabkan kecenderungan untuk memandang berbagai hal seperti seni, budaya, sosial, desain komunikasi visual, dan ILM sebagai fenomena bahasa dan tanda.

Metode semiotika, pada dasarnya beroperasi pada dua jenjang analisis. Pertama, analisis tanda secara individual. Mencakup: jenis, struktur, kode, dan makna tanda. Kedua, analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi. Yakni kumpulan tanda-tanda yang membentuk teks.

Sedangkan teks dipahami sebagai kombinasi tanda-tanda. Dengan demikian, karya desain komunikasi visual salah satunya berbentuk ILM juga dapat dilihat sebagai sebuah teks. Oleh karena itu, keberadaannya merupakan kombinasi tanda-tanda (Piliang, 2004:88).

Daftar Pustaka

Yasraf Amir Piliang , Semiotika Komunikasi ,(Terj.Alex Sobur) , Remaja Rosada Karya Bandung 2004

Sujiman, Panuti, & Aart van Zoest (Ed.), Serba-serbi Semiotika, Gramedia, Jakarta, 1991.

Amir Piliang, Yasraf, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003.

Barthes, Roland, Mitologi, (Terj. Nurhadi & Sihabul Millah), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004.

Ritzer, George, Teori Sosial Postmodern (penerj. Muhammad Taufiq), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2003.

St. Sunardi, Semiotika Negativa, Buku Baik, Yogyakarta, 2004.

Aart van Zoest: “Interpretasi dan Semiotika” (terj. Okke K.S. Zaimar dan Ida Sundari Husein) dalam Panuti Sujiman dan Aart van Zoest (Ed.), Serba-serbi Semiotika, Gramedia, Jakarta, 1991, hal.1.

0 Responses to "SEMIOTIKA PERIKLANAN":